[6] Unbreakable

unbreakable krissica

Unbreakable

By elevenoliu

Kris, Jessica, Suho, Sooyoung

Romance-Angst // PG 17+

Inspired from Westlife – Unbreakable [Not Songfic!]

[Italic means flashback]

Poster goes to Hymrk

01.45 AM

Jessica masih berdiri depan kamarnya yang akan dia tempati bersama kakaknya, Kris. Dia membuka pintu kamar tersebut perlahan. Dua koper sudah terletak di depan pintu, jaket Kris juga sudah terletak di atas lantai, sedangkan sang pemilik sudah mendengkur di atas tempat tidur dengan nyenyak.

Helaan nafas keluar dari mulut Jessica. Dia melepaskan backpack-nya dari pikulannya lalu meletakannya ke pinggi tempat tidur. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya lalu berjalan ke pintu keluar menuju balkon.

Angin malam menusuk tulangnya. Dia memeluk lengannya sendiri lalu menyandarkan tubuh depannya ke begi penyangga di balkon. Dia memerhatikan taman kecil di rumah besar ini. Tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda pesan masuk lagi.

From : Baekhyunee

Jessica, kau dimana? Aku tidak akan memberi tahu Sooyoung. Percayalah.

Jessica menghembuskan nafasnya hingga uap keluar dari mulutnya itu. Well, Jessica memang percaya pada Baekhyun tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat.

Dia menulusuri ponselnya sendiri. Dia membuka foto-foto dirinya yang masih memakai seragam sekolah menengah bersama sahabatnya. Dia tersenyum—matanya berlinang—lalu mengingat momen-momen berharga yang pernah ia lewati dulu.

.

.

.

Buku tulis yang mulai menipis itu terlempar di atas salah stau meja di dalam kelas ini. Jessica—sang pemilik—langsung duduk di bangku yang berada di hadapan meja itu hingga seorang siswi yang duduk di hadapannya memutar posisinya karena keributan yang dibuat oleh Jessica.

“Sica-ah, ada apa?” Tanya siswi itu.

Jessica tersenyum kecut, “Matematika nyaris membuatku gila.” Jessica memajukan tubuhnya lalu membuka buku tersebut, “Ajari aku, Sooyoung.”

Siswi tersebut—Sooyoung—tersenyum lebar lalu mengangguk, “Tentu.”

.

.

.

Pedih rasanya. Hati Jessica pedih mengingat momen manis itu bersama Sooyoung—sahabatnya. Kini, bagi Jessica, Sooyoung adalah monster yang berusaha menghancurkan hidupnya. Walaupun bagi Sooyoung tidak.

Dia masih mengingat betul ketika hubungannya dengan Sooyoung mulai merenggang.

.

.

.

Dua kotak yang berisi coklat itu tengah ditatap oleh dua gadis cantik yang masih memakai seragam sekolah yang sedikit kotor karena coklat-coklat yang menempel di seragam mereka.

“Aku akan memberikan ini kepada Suho.” Kalimat itu terlontar dari gadis yang berbibir tipis itu—Jessica—sambil tersenyum manis menatap kotak coklat itu.

“By the way, kau akan memberikan coklat itu kepada siapa?” Tanya Jessica pada gadis yang duduk disebelahnya.

Dia mengedikkan bahunya, “Sebenarnya, aku tidak tahu. Tapi,” Dia menggantungkan perkataannya dan menundukkan wajahnya lebih dalam lagi, “Mungkin kepada mantan sunbae kita di sekolah.”

Jessica menoleh dengan mata yang terbelalak, “Siapa? Aku mengenalnya?”

Sooyoung tersenyum lalu mengangkat kepalanya—tidak menatap Jessica, “Kris sunbae?”

Entah itu sebuah pernyataan atau pertanyaan. Yang terpenting nama yang terlontar dari mulut Sooyoung itu adalah kakak dari sahabatnya sendiri. Sesak rasanya untuk Jessica. Entah mengapa, dia merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri.

.

.

.

Jessica menangis. Dia menangis. Menangis lagi. Tangisannya tidak akan berhenti sampai semua masalah ini selesai.

Dia terjatuh berlutut lalu meletakkan ponselnya ke atas lantai. Dia megenggam besi penyangga balkon dengan kuat, melampiaskan rasa sesalnya.

Dia kecewa pada sahabatnya sendiri. Sooyoung mencintai kakak kandungnya, menjadi tangan kiri ibunya, rela membantu kakaknya membunuh kekasihnya sendiri, Sooyoung lebih mementingkan diirinya sendiri dibandingkan perasaannya sahabatnya sendiri.

“Kenapa seperti ini…” Jessica bergumam lalu disusul dengan isakkannya. Dia mendongakkan kepalanya menatap bintang-bintang yang masih berada di langit gelap ini.

Bintang saja bisa bersama-sama, batin Jessica. Sedangkan dirinya, dia merasa sendiri walaupun orang-orang berada disekitarnya.

.

.

.

“Oh, jadi mereka itu kakak-adik?” Sebuah kekehan mengakhiri pertanyaan tersebut.

“Baiklah. Aku mengerti.” Sambungan telepon terputus ketika dia menurunkan ponselnya dari telinganya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya lalu melangkahkan kakinya hingga berhenti di taman kecil salah satu rumah besar itu.

Suara isakkan seorang wanita menarik perhatian pria berambut cokelat itu—Chanyeol. Dia mengedarkan pandangannya mencari asal suara isakkan itu. Bulu kuduknya berdiri. Dia sudah tinggal di rumah ini lebih dari enam tahun tapi pertama kali bulu kuduknya berdiri seperti ini.

Apa…itu hantu? Pikir Chanyeol.

Dia melangkahkan kakinya lagi hingga dia melihat seorang wanita sedang berlutut di atas balkon kamar di rumahnya ini. Dia mengenal wanita itu, dia baru saja melihatnya sekitar 20 menit yang lalu. Dahinya berkerut, kenapa dia menangis?

Dan mulai dari detik itu, dia memerhatikan wanita itu—Jessica—hingga dia masuk ke dalam kamarnya.

.

.

.

Jessica menguap. Matanya terus terbuka sejak mereka memasuki kamar ini. Matras tempat tidur ini terlalu keras hingga dirinya tidak bisa tidur pulas—tubuhnya semakin sakit karena kerasnya matras tempat tidur ini.

Tiba-tiba pria yang tertidur pulas disebelahnya berguling hingga—BRUK! Dia—Kris—terjatuh dari tempat tidur itu. Dengan cepat Jessica mengambil posisi tidur dan menutup matanya rapat. Dia bisa mendengar dengan jelas erangan Kris hingga pria tersebut merebahkan tubuhnya lagi di sebelahnya.

Tapi, dia merasakan yang aneh. Jessica merasa aneh. Kenapa udara di sekitarnya menjadi panas dan pengap? Rasanya ia ingin sekali membuka matanya. Hembusan nafas bisa dia rasakan di pipinya. Dengan cepat dia menelentangkan tubuhnya tapi…

Bibirnya terasa aneh saat itu juga. Sesuatu seperti menempel di bibirnya. Satu. Dua. Tiga. Dia membuka matanya dan hal pertama yang ia tatap adalah sepasang mata kakaknya itu.

Kakaknya tersenyum dengan bibir yang menempel di bibirnya. Jantungnya berdebar dengan kencang. Apa ini halusinasi karena dia tidka tidur semalaman? Dia mendorong tubuh kakaknya itu dengan cepat.

Ini nyata!

Jessica menatap kakaknya itu, “Yak! Kau sudah gila!” Pekik Jessica.

Kris hanya tersenyum jahil melihat reaksi Jessica yang sangat lucu—baginya. Dia menghampiri Jessica lalu memeluk adiknya itu, “Tadi hanya kecelakaan.” Kris mengacak rambut Jessica hingga berantakan.

“Kecelakaan apanya? Jelas-jelas kau tersenyum, bodoh!” Jessica mengamuk di dalam pelukan Kris.

Ya, memang dasarnya kekuatan wanita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan pria. Walaupun Jessica menggigit lengan Kris, pria itu tetap akan memeluknya dengan erat seperti ini.

“Mungkin…kau lupa kalau aku ini adikmu.” Pelukkan Kris merenggang ketika mendengar perkataan itu keluar dari mulut Jessica. Tubuhnya melemas. Seakan-akan itu dinding yang menghalangi mereka. Seandainya Kris bisa menghancurkan dinding itu.

Mianhe.” Mulut Kris pun terbuka untuk memohon maaf pada adiknya itu. Sedangkan Jessica hanya berdiri dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi membersihkan dirinya.

.

.

.

Lorong rumah yang besar itu menjadi sedikit riuh karena langkah kaki seseorang. Chanyeol. Tak lain selain dia. Dia memeriksa pintu kamar—apakah semua pintu tertutup rapat.

Kamar satu. Beres.

Kedua. Beres.

Matanya mengerjap ketika pintu kamar ketiga sedikit terbuka. Dia heran, kenapa sepasang suami istri ini tidak menutup pintunya—bahaya jika ada yang melihat apa yang mereka lakukan. Chanyeol menghelakan nafasnya, “Bulan madu apanya.”

Ketika dia memegang knop pintu kamar tersebut, rasa ingin tahu tumbuh di dalam pikirannya. Bukannya menarik pintu tersebut, dia mendorong pintu tersebut perlahan dan mengintip ke dalam kamar.

Shit, berantakan sekali, batin Chanyeol. Dia mengedarkan pandangannya hingga melihat seorang pria—Kris—berada di atas seorang wanita—Jessica. Mereka berciuman.

Chanyeol langsung melepaskan genggamannya pada knop pintu tersebut. Jantungnya berdebar kencang. Dia berusaha mengatur nafasnya lalu menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada di belakangnya.

“Mereka benar-benar sepasang suami istri.”

Tapi dia teringat perkataan lawan bicaranya tadi subuh—Minseok—yang merupakan teman kecilnya yang mengenalkan homestay-nya kepada dua orang itu.

Mereka itu kakak-adik. Aku sudah mengenal Kris semenjak kami kuliah.

“Ja…jadi, kenapa dia mencium adiknya sendiri?”

.

.

.

Jessica menuruni tangga rumah yang tengah ia tempati itu. Dia melihat sekelilingnya berusaha menemukan dimana bibi Merlin itu. Siapa tahu mereka bisa berbicang untuk melepaskan rasa jenuhnya. Dia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu lalu duduk di atas sofanya.

Dia menghela nafasnya. Seandainya Kris tidak akan menciumnya seperti tadi pasti mereka sudah jalan-jalan di Negara orang ini. Tapi, Kris menciumnya dan membuat suasana diantara mereka menjadi canggung. Orang bodoh.

Sebuah tepukkan mendarat di bahu kiri Jessica, “Siang, apa yang kau lakukan?” Suara berat khas pria itu menyambut Jessica di pagi menjelang siang ini.

“Oh? Aku? Hanya duduk saja.” Jawab Jessica sambil memerhatikan pria itu—Chanyeol—duduk di hadapannya.

“Biasanya pasangan yang sedang bulan madu akan keluar rumah. Mereka hanya tidur disini.”

Jessica bungkam. Dia dan kakaknya itu memang bukan sedang berbulan madu tapi sedang lari dari kedua orang tuanya.

“Kalian bukan sedang berbulan madu ‘kan?” Chanyeol berusaha memancing Jessica.

“O…oh, tentu saja kami sedang berbulan madu.” Jawab Jessica gugup.

“Bagaimana bisa berbulan madu tapi sang suami berada di kamar dan sang istri sedang bersama dengan pria lain?” Chanyeol menumpukan kaki kanannya ke atas kaki kirinya lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa.

“Kau ingin tahu sekali, hm?” Tanya Jessica sinis.

“Tidak. Kalian aneh saja.” Chanyeol mengedarkan pandangannya lalu menatap Jessica lagi, “Homestay ini adalah rekomendasi dari teman kakakmu yang merupakan temanku juga.”

Wajah Jessica memerah, dia berusaha melanjutkan sandiwara Kris tapi dia yang terjebak sekarang. Dia membuang pandangannya dan menutup wajahnya dengan tangan kanannya.

“Kalian sangat lucu.” Suara tawa yang berat itu mengakhiri perkataan Chanyeol. Dia berdiri lalu duduk di sebelah Jessica, “By the way, umurmu berapa?”

Jessica berdeham, “22. Kau?”

“Aku? 25 tahun.”

“Tapi, bagaimana kau bisa tahu tentang kami? Apa kau seorang penguntit?”

“Kim Minseok dan aku berteman karena orang tua kami berteman.”

Oh, shit, lebih baik kau menutup mulutmu, Jessica, ancam Jessica pada dirinya sendiri.

.

.

.

Kris turun sambil memikul backpack milik Jessica dan tas kecil denim miliknya yang ia jinjing. Tiba-tiba dia mendengar suara adiknya yang tengah berbicara dengan seorang pria. Raut wajah Kris menjadi kusut bagaikan pakaian yang belum disetrika. Rupanya pria itu benar-benar berhidung belang.

Dia mempercepat langkah kakinya lalu menghampiri Jessica dan Chanyeol yang tengah berbincang, “Jessica, kau sudah siap?”

Jessica menoleh dengan cepat ke arah Kris. Dia menatap Kris dengan canggung lalu menggigit bibir bawahnya. Dia mengingat ciuman tadi pagi lagi.

“Sica?” Panggil Kris.

“Memangnya kita mau kemana?” Tanya Jessica.

Kris mengangkat kedua bahunya, “Aku juga tidak tahu. Yang penting kau dan aku pergi saja dulu. Belum sarapan ‘kan?”

Tidak ada alasan bagi Jessica untuk mengelak. Dia tahu betul bahwa Kris sedang berusaha menjauhkan dirinya dengan pria berparas tinggi ini.

“Ayo!” Kris langsung menarik lengan Jessica menginggalkan Chanyeol yang masih duduk disana.

.

.

.

“Kau itu tidak tahu bagaimana seluk beluk Selandia Baru.” Protes Jessica yang berdiri di sebelah kiri Kris. Mereka berdiri di pinggir jalan menunggu taksi yang kosong berhenti untuk mereka.

“Kita tidak akan mati hanya karena aku tidak mengetahui bagaimana seluk beluk Selandia Baru.”

“Dan minimalnya kita akan tersesat.” Nada dingin Jessica itu menusuk pendengaran Kris. Membuatnya semakin terpojok akan suasana ini. Oh, memang ini salahnya. Mencium adiknya sendiri.

“Tadi pagi…maafkan aku.” Suara Kris menyerak ketika mengucapkan perkataan itu. Dia mengelap peluh yang mengalir di dahinya lalu menghelakan nafasnya, “Aku masuk.”

Jessica menganga. Bagaimana bisa dia ditarik keluar oleh kakaknya tapi ditinggal begitu saja di depan pagar? Shit, batinnya. Dia berbalik lalu membuka suaranya, “Aku mau makan siang. Karena kau sarapanku terlewat begitu saja.”

Langkah Kris terhenti ketika Jessica berhenti bicara. Dia berbalik dengan dahi yang mengernyit, “Aku tidak tahu seluk beluk Selandia Baru. Aku rasa Chanyeol lebih membantu.”

“Aku tidak mau jika orang yang menemaniku itu Chanyeol,” Jessica menatap manik mata Kris dengan dalam, “Aku ingin kau menemaniku.”

.

.

.

Hawa canggung menyelimuti bangku penumpang taksi ini. Kris menatap ke luar jendela sedangkan Jessica duduk diam sambil menatap argo taksi yang terus berubah tiap menitnya. Berbeda dari terakhir kali mereka berada di taksi yang sama, Jessica berada di bahu Kris.

Beberapa menit kemudian, taksi itu berhenti di sebuah restoran yang dituju oleh mereka. Restoran ala Barat dengan nuansa klasik yang sangat melekat dari pandangan pertama.

Supir taksi itu menoleh ke bangku penumpang, “We’re arrived, sir.”

Kris menoleh ke argo taksi tanpa memberi respon kepada sang supir. Dia langsung mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikannya kepada supir taksi. “Keep the change.”

Kris langsung menoleh ke arah Jessica, “Ayo, turun.” Ajaknya sambil membuka pintu taksi yang berada di sebelah kirinya.

“Thank you.” Ucap Jessica sambil bergeser dari tempat duduknya lalu turun dari taksi menyusul Kris dari belakang.

Jessica membuang nafasnya kasar. Bodoh. Batin Jessica. Ini adalah restoran yang sama di Korea. Restoran ala Barat yang sering ia datangi bersama Sooyoung ketika mereka masih lengket seperti amplop dan perangko dulu.

Tiba-tiba ponsel Jessica berdering tanda panggilan masuk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan nama Baekhyunee tertera di layar ponselnya.

Kris yang sadar bahwa seseorang menghubungi Jessica itu langsung berbalik lalu memegang lengan kanan Jessica, “Masuklah. Simpan ponselmu. Kita akan makan.”

Dengan cepat Jessica memasukkan ponselnya yang masih berdering ke dalam saku jaketnya lagi lalu mengikuti langkah Kris dari belakang dan memasuki restoran itu.

.

.

.

“Aku yang akan mentraktirmu.” Ucap Kris sambil memegang menu yang berada di tangannya.

“Tentu. Kau yang mengajakku kabur jadi kau yang harus menangguni beban hidupku selama disini.”

“Jangan berbicara seperti itu. Kau membuatku merasa seperti penjahat.”

“Kau memang penjahat, oppa.”

Bagaikan batu besar menimpah Kris ketika mendengar ucapan Jessica. Dia memegang menu itu dengan keras hingga terlihat lecak lalu meletakkannya perlahan ke atas meja.

“Aku tahu aku salah.” Kris menekankan kata-katanya lalu membuang nafas kasar sembari bangkit dari duduknya dan meletakkan dompetnya di atas meja.

Jessica mengangkat kepalanya yang sedari tadi memilih pesanannya di menu. “Kau mau kemana?”

Kris tidak mengacuhkannya. Dia meneruskan langkahnya meninggalkan meja yang mereka duduki tadi. Matanya memerah, tangannya terkepal, nafasnya tidak teratur. Kris sangat kacau.

Oppa!” Teriak Jessica. Dia mengambil dompet Kris dan memasukkannya ke saku jaketnya. Dia berlari mengejar Kris lalu memegang lengan kiri Kris.

Oppa! Maaf, aku tahu aku yang salah.” Kris terus berjalan hingga Jessica sedikit tertarik karena dirinya.

“Aku seharusnya tidak boleh berkata seperti itu, aku tahu, oppa.” Kris terus melangkahkan kakinya hingga keluar dari restoran itu dan tangannya masih tercengkram oleh Jessica.

Oppa, maafkan aku.” Jessica tahu dirinya salah. Yang berlalu seharusnya berlalu dan tidak boleh diungkit lagi.

“Tidak, aku yang—“ Kris menghentikan ucapannya ketika lengan Jessica sudah melingkar di tubuhnya. Dia bisa merasakan dekapan hangat Jessica dari belakang sana.

“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf.” Jessica mengeratkan pelukannya lalu meletakkan kepalanya di punggung Kris dan memejamkan matanya, air matanya pun turun saat itu juga.

“Aku tidak mau kau marah padaku.” Pinta Jessica.

“Aku tidak marah.” Suara datar Kris itu akhirnya keluar dari kerongkongannya.

Jessica terisak, “Kau meninggalkanku tadi.”

“Aku marah pada diriku sendiri, Jessica. Aku marah karena aku sudah merenggut seseorang yang sudah seperti setengah hidupmu. Aku memang jahat.”

“Tidak. Dia, Kim Suho sudah berada disana, aku yakin. Aku sudah kehilangan dirinya. Aku sudah kehilangan orang yang kusayang,” Jessica melepas pelukannya lalu menghapus sisa air mata yang mengalir di pipinya, “Dan kini, aku tidak mau orang yang kusayang juga meninggalkanku, oppa.”

Kris menarik nafasnya lalu mendongakkan kepalanya menghadap langit Selandia Baru yang berwarna biru terang itu. Tidak, dia tidak menikmati langit tersebut. Dia menahan air mata yang sedari tadi ingin keluar dari tempatnya.

“Kau tahu, Jessica?” Kris berbalik menghadap adiknya itu. Dia mencoba untuk merekah senyuman di wajahnya. “Kau adalah alasan mengapa aku tidur, aku menemuimu di mimpiku. Kau alasan mengapa aku meraih peringkat satu, agar aku tidak dikirim ke China jika aku gagal. Kau alasan mengapa aku rela diusik oleh Sooyoung, agar dia berhenti mengusikmu. Kau alasan mengapa aku tersenyum. Kau alasan mengapa aku menangis. Kau alasan mengapa aku masih bernafas, mengapa jantungku berdetak, mengapa aku masih hidup sampai sekarang. Kau alasan mengapa aku disini.”

Jessica menundukkan kepalanya, menunduk dalam hingga Kris hanya bisa melihat puncak kepalanya dan mendengar isakkan yang keluar dari mulut Jessica.

Kris memegang dagu Jessica dan mendorongnya ke atas hingga dia bisa melihat wajah cantik adiknya itu yang penuh dengan air mata. Dia mengangkat ibu jarinya dan menyeka air mata yang mengalir di pipi Jessica.

“Jangan menangis.”

Jessica menggeleng, “Aku tidak menangis.”

“Kalau begitu, jangan berbohong.” Kris menarik tubuh Jessica ke dalam dekapannya. Dia mengusap rambut lembut Jessica dengan jemarinya lalu meletakkan dagunya di puncak kepala Jessica.

Seandainya kau bukan adikku, Sica.

“Jessica, aku mencintaimu.”

Tangisan Jessica pecah. Dia menangis dengan sangat. Tangannya pun terangkat membalas pelukkan Kris. Dia harus jujur pada dirinya sendiri. Kris memang berpengaruh besar di hidupnya. Kris yang membuatnya ingin melanjutkan hidupnya. (Dia sudah mencoba untuk bunuh diri sebelumnya setelah keluar dari rumah sakit)

Oppa….” Jessica baru saja ingin melepaskan pelukannya tapi Kris tetap kukuh akan pelukannya. dia semakin mengeratkan pelukannya lalu sedikit menunduk hingga dagunya mendarat di bahu kiri Jessica, “Biarkan seperti ini.”

“Tapi—“ Jessica menghentikan ucapannya sendiri. Dia harus jujur, dia menginginkan pelukan hangat ini.

.

.

.

“Aku tidak tahu ini makan siang atau sarapan yang terlambat.” Jessica membuka mulutnya yang sedari tadi terkatup rapat. Dia memotong daging steak yang sudah tinggal separuhnya saja.

“Aku mengacaukan jadwal makanmu, ya?” Tanya Kris sambil melempar senyumannya kepada adiknya itu.

Jessica menggeleng pelan, “Lebih tepatnya kau mengacaukan hatiku.” Jessica meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring. “Yang tadi….apa kau serius?”

Kris bungkam. Bodoh! Dia baru sadar. Jessica, aku mencintaimu. Kris bagaikan mendengar suaranya sendiri. pengakuannya itu benar-benar diluar kesadarannya.

“Kau tahu? Aku jadi memikirkan perasaanku kepadamu.” Jessica mengambil pisau dan garpunya lagi lalu memotong daging tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut.

Sialnya kita ini kakak adik. Umpat Kris di dalam hatinya. Dia menghela nafasnya lalu melanjutkan acara makannya sambil mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang tengah menyantap makanannya juga seperti mereka.

Mungkin ada orang yang lebih beruntung disbanding dirinya. Mungkin ada orang yang jauh lebih buruk nasibnya dibandingkan dirinya sendiri. Kris bertanya-tanya, apakah dunia ini adil?

Jika mengikuti ego manusia, dunia tidak akan pernah adil. Kris tahu itu dan Kris tahu bahwa dirinya adalah seorang manusia. Baginya, dunia ini tidak adil.

Jessica dan dirinya lahir dari rahim yang sama, tidak adil. Bolehkah dia memilih rahim yang berbeda dari Jessica?

Dia jatuh cinta pada adik kandungnya sendiri, tidak adil. Selain adiknya, ada ribuan wanita lain bukan?

Orang tuanya selalu mengkekang dirinya, tidak adil. Dirinya sudah berumur 27 tahun bukan 10 tahun.

Tapi, pikirannya berubah jika dia memutar pikirannya.

Jika dia bisa memilih rahim mana yang akan melahirkannya nanti, dia tidak akan bertemu Jessica.

Jika dia tidak bertemu Jessica, mungkin dia akan jatuh cinta dengan wanita lain.

Jika dia tidak bertemu Jessica, mungkin dia sudah menikah sekarang.

Jika dia mengikuti jalan pikirannya sekarang dan tidak bertemu Jessica, dia sudah mati. Jessica alasan mengapa dia berada disini sekarang.

Dia mencintai Jessica dengan segenap hatinya. Dia sadar akan itu.

Dia tersenyum melihat adiknya yang tengah asil mengunyah. Dia tidak menyangka bahwa hati adiknya bisa luluh dan mengikuti langkahnya.

“Benar. Aku mencintaimu.” Suara Kris yang berat itu akhirnya keluar dari kerongkongannya.

Jessica menoleh. Dia menatap mata Kris. Mata mereka bertemu. Saat itu juga, jantungnya berdebar lebih kencang. Dia langsung meneguk minumannya lalu membersihkan sisa makanan yang ada di bibirnya dengan tissue.

“Kau sudah selesai? Aku ingin pulang.”

.

.

.

Pria berambut cokelat itu meletakkan majalah yang tengah dia baca itu ke atas meja kaca yang berada di ruang tengah homestay ini. Dia menatap dua insan yang tadi sangat canggung bahkan terlihat seperti bertengkar namun mereka sangat lengket bagaikan sepasang kekasih.

Kris berjalan sedikit lebih depan dari Jessica tapi tangan Jessica melekat di lengan kiri Kris. Oh my god, mereka benar-benar terlilhat seperti sepasang kekasih.

Chanyeol mengernyitkan dahinya, “Apa-apaan mereka?” Chanyeol menghelakan nafasnya lalu mengangkat kedua kakinya ke atas meja kaca itu.

“Tahukah mereka kalau kakak adik itu tidak boleh seperti itu,” Dia membuang nafasnya kasar, “Oh my god, mereka benar-benar insane.

.

.

.

Jessica melepaskan jaketnya lalu menggantungnya di belakang pintu. Dia berjalan ke kursi yang berada dekat jendela besar sebelah balkon dan duduk di atasnya. Dia melihat taman kecil yang berada di bawah sana.

Oppa!” Panggil Jessica dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Kris yang baru saja melepas jaketnya langsung membuangnya sembarang dan menghampiri Jessica.

Jessica menujuk taman kecil itu, “Lihat! Aku suka taman seperti ini.”

“Benarkah?” Kris mendekatkan wajahnya agar pandangannya lebih jelas.

Ne. Seandainya rumah kita ada taman seperti itu.”

Kris mengangguk mengerti lalu berdeham, “Rencananya aku ingin membangun taman seperti itu di rumah baruku nanti.”

Jessica menoleh ke belakang—Kris—matanya terbelalak, “Kau akan pindah?!”

“Pasti. Tidak mungkin aku akan tinggal bersama orang tuaku terus.”

“Berarti kau—“

“Aku sudah menyediakan satu kamar kosong kok.” Sela Kris.

Mata Jessica melebar dan Kris sadar ketika dia melihat pancaran kebahagiaan dari mata Jessica. “Berarti, aku bisa tinggal disana ‘kan?”

“Sebenarnya aku menyiapkan itu hanya untuk tamu. Tapi, tidak apa jika kau mau.” Kris memegang kursi belakang Jessica dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menekan jendela besar itu. Jessica terkepung.

“Padahal aku lebih senang jika kau tidur di kamarku.”

Jessica diam tidak membalas perkataan Kris. Dia menatap mata Kris dan dia sadar. Mata mereka memang mirip bahkan persis. Mereka memiliki mata yang sama seperti ibu mereka.

Tiba-tiba dia teringat kejadian tadi pagi, dia memukul bahu Kris sangat keras. Tangannya terangkat memegang bahu kiri Kris yang masih tertutup dengan kemeja yang ia kenakan.

“Apa ini sakit?” Jessica menekan bahu kiri Kris hingga, “Aaaaaaaww!” Kris mengerang sambil memegang bahu kirinya dengan tangan kanannya.

“Maafkan aku. Pasti itu sakit sekali.” Jessica bangkit berdiri, “Aku akan meminta kotak obat pada Chanyeol.” Baru saja Jessica melangkahkan kakinya, lengannya sudah digenggam oleh Kris.

“Jangan. Ini bisa sembuh dengan sendirinya kok. Tenang saja.” Kris tersenyum lalu menarik lengan Jessica hingga jatuh di lengan kanannya.

“Lihat? Masih berfungsi.” Kris memutar lengan kirinya di hadapan Jessica.

“Baiklah. Tapi, kau yakin?” Jessica berusaha memastikan.

Kris mengangguk, “Aku baik-baik saja.”

“Kalau begitu..” Jessica mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Kris bahkan dia sedikit menjinjit hingga dia berhadapan dengan Kris secara sempurna.

Jessica mendaratkan bibirnya ke bibir Kris lalu melepaskannya. “Permintaan maaf.”

Kris tersipu. Dia tersenyum lebar hingga matanya membentuk bulan sabit lalu menarik Jessica ke dalam pelukannya.

“Sekali lagi, aku mencintaimu.”

TBC

18 thoughts on “[6] Unbreakable

KrisSica need your support!